"Sayang kalo dianggurin, lebih disayangkan jika hilang".
Kembali lagi ketempat itu, setelah 7 bulan lalu untuk pertama kali mengunjungi sebuah gedung usang di jalan otto iskandar dinata. Gedung yang bersebelahan dengan sebuah restoran cepat saji di bekas lahan kompleks PFN. Gedung tua yang memiliki puluhan tahun sejarah, kini tenggelam dari permukaan setelah beberapa tahun belakangan ini tidak aktif. Minggu tanggal 15 bulan november 2015, saya kembali lagi mengunjunginya, gedung tua yang digadang-gadang sebagai salah satu saksi perfilman indonesia, berdiri kokoh sebuah laboraturium film negeri ini. Perum Perusahaan Film Negara ( PPFN ) sudah ada sejak 1934 dengan nama Java Pacific Film. Saya tidak akan bercerita banyak tentang sejarahnya karena sudah ada beberapa artikel yang membahasnya, tulisan ini hanya ungkapan perasaan saya saat berada dekat dengannya.
Kesempatan pergi ke Jakarta kali ini sengaja ingin mengunjungi komplek PFN ini, dan 2 hari sebelumnya saya sempat berkomunikasi dengan Anggun Priambodo bahwa saya hendak main dan ikut kegiatan Lablabalaba di PFN. Tapi nasib berkata lain, Anggun memberitahu kalau PFN telah menghentikan kontrak kerjasamanya dengan Lablabalaba per 12 November 2015, entah apa alasan dibalik putusnya kontrak kerjasama itu. Hal itu semakin mendorong niat saya untuk segera mengunjungi tempat ini, akhirnya hari minggu 15 november 2015 pukul 09.30 saya sampai di depan PFN, namun saya masih ragu-ragu untuk masuk ke area PFN, alhasil saya menuju restoran cepat saji sembari meyakinkan diri dan berfikir kapan lagi bisa menjelajah ke dalam komplek PFN. Sebelumnya memang pernah datang ke acara exhibitonnya Lablabalaba bulan April, namun disayangkan karena saya tidak sempat ikut Tur keliling PFN. Tepat pukul 10.00 saya bergegas turun menuju pintu masuk PFN.
Sempat saya diberitahu Anggun, " Kalo kamu mau jalan-jalan kesana biar aman, bilang aja ke satpamnya mau ke skatepark biar ga ditanya macem-macem ". Saya langsung menuju ke pos satpam dan bertanya dimana skatepark berada, setelah itu bergegas mengeluarkan kamera dan mengambil gambar setiap sudut bangunan. Menemukan sebuah tulisan " Si Unyil " yang terbuat dari bahan styrofoam dan ada beberapa huruf yang sudah hilang. Langkah dilanjutkan kembali menyusuri sebuah jalan yang mengarah ke skatepark, ada beberapa bangunan yang mulai rusak termakan jaman. Setelah diujung jalan ini, skatepark ada disisi sebelah kiri, namun langkah saya malah tertarik untuk berjalan ke kanan menuju sebuah pintu yang terbuka separuh.
Ruangan yang berada dibalik pintu tersebut ternyata dipenuhi berbagai macam cairan chemical, jelas ini adalah sisa-sisa larutan yang pernah digunakan saat PFN masih beroperasi. Cukup tercengang melihat berbagai macam benda didalamnya, sejenak berfikir amat disayangkan jika rutinitas di PFN terhenti hanya sampai disini saja. Setelah terkesan melihat isi didalam ruangan ini, saya melanjutkan menelusuri area yang tidak jauh dari gudang chemical ini, beberapa benda sempat saya temukan, diantaranya ada beberapa roll film 16mm dengan ukuran cukup panjang namun gambar didalamnya sudah hilang. Ada sebuah bangunan semacam bekas studio produksi, entah iya atau tidak itu hanya dugaan semata karena ada sebuah panggung set ditengah ruangan yang dihiasi barang-barang berserakan dilantai. Sekilas bangunan ini mirip dengan hanggar pesawat karena diselimutin dinding-dinding seng berkarat yang ditumbuhin semak belukar.
Waktu sudah menujukan pukul 10.45, saya pun melanjutkan menelusuri sisi demi sisi komplek PFN, kami mengarah pada lahan bongkaran yang dipenuhi puing-puing bangunan yang mungkin dulunya adalah ruang kerja para pekerja PFN. Saya melihat sisa-sisa dari kegiatan jaman dulu dimana masih terdapat sebuah tulisan " Workshop Perum PFN " di jendela. Ada juga bangunan berwarna warni dengan tulisan " Brain Works " pada pintunya. Langkah kaki terhenti ketika ada setumpuk roll film yang sepertinya bekas terbakar api dan juga beberapa roll yang tertimbun puing-puing bangunan.
Melanjutkan perjalanan ke sisi satunya dari pintu masuk ambil kekiri, jalan menuju venue yang dulu digunakan exhibitionnya Lablabalaba. Ternyata sisa dari exhibition " Mengalami Kemanusiaan " itu masih ada, beberapa tulisan penunjuk arah dan mural pameran masih terlihat jelas. Sayangnya saya tidak bisa masuk ke dalam bangunan karena memang tidak ada kepentigan yang khusus, saya hanya bisa melihatnya dari luar gedung itu. Sebuah genset PFN berukuran besar terparkir disamping mobil Land Cruiser dengan keadaan yang terlantarkan. Tak banyak yang bisa dilihat selain mengamati kokohnya gedung-gedung di kompleks PFN ini, beberapa masih dalam keadaan cukup baik, namun tak sedikit yang sudah rata dengan tanah. Entah berapa lama lagi bangunan-bangunan ini bisa bertahan, membayangkan luasnya kompleks PFN dulu dan kini hanya tinggal setengah atau mungkin malah tidak ada setengahnya yang masih berdiri kokoh. Waktu menunjukan pukul 11.30 dan setelah dirasa cukup mengelilingi kompleks bersejarah ini, saya pun memutuskan untuk keluar dengan masih menyimpan rasa penasaran untuk mengeksplore lebih dalam dari ruangan satu ke ruangan lainnya. Biarkan rasa penasaran ini tenggelam seiring waktu berjalan, mungkin saja PFN kembali dari mati surinya dan merubahnya menjadi sebuah tempat sarana pengembangan ilmu perfilman sehingga dapat dibuka untuk umum kelak, ya namanya mengkhayal boleh-boleh saja, toh juga tidak menutup kemungkinan jika memang hal itu bisa ter-realisasi suatu saat nanti.
Saya salah satu orang yang sangat menyayangkan putusnya kontrak kerjasama antara PFN dan Lablabalaba, dimana saya tau perkumpulan muda mudi yang berdomisili di jakarta ini adalah salah satu movement untuk mencoba menyelamatkan sebuah saksi sejarah. Ya bagaimanapun semua sudah ada jalannya, dan semoga Lablabalaba sendiri sebagai sebuah pergerakan tetap mampu menyebarkan informasi kepada publik.
Saya salah satu orang yang sangat menyayangkan putusnya kontrak kerjasama antara PFN dan Lablabalaba, dimana saya tau perkumpulan muda mudi yang berdomisili di jakarta ini adalah salah satu movement untuk mencoba menyelamatkan sebuah saksi sejarah. Ya bagaimanapun semua sudah ada jalannya, dan semoga Lablabalaba sendiri sebagai sebuah pergerakan tetap mampu menyebarkan informasi kepada publik.